Langsung ke konten utama

Contoh Pembuatan Makalah Yang Baik Dan Benar


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Manajemen Pemasaran Syariah





Oleh:
Nerla Nurlela               181002035


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2019 M/1441 H

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan segala rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis, sehingga atas kehendak dan Izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kaidah Induk : الأمو بمقـاصدها untuk memenuhi mata kuliah Kaidah Fiqih Ekonomi.
Dalam pemyusunan makalah ini, penulis menyadari akan keterbatasan, kemampuan, dan pengetahuan penulis dalam penyusunannya. Namun kesulitan tersebut dapat dibantu oleh beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan berupa tenaga dan pikiran. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1.                  Asep Suryanto., M.Ag. selaku dosen mata kuliah Kaidah Fiqih Ekonomi.
2.                  Semua pihak yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi redaksional maupun dari segi alur pembahasan serta tata bahasanya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membantu untuk kebaikan masa yang akan datang.          
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Aamiin.

Tasikmalaya,   Agustus 2019

Penulis


DAFTAR ISI




BAB I PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang

Kaidah Al Umuru Bi Maqasidiha ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
للعمل والفساد الصلاح بها العمل لسائر شرط  النية
“Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik dan buruknya amalan”.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

1.2    Rumusan Masalah

1.    Apa Pengertian Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها ?
2.    Apa Tujuan dan Fungsi Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها?
3.    Apa Dalil dan Cabang-cabang Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها ?

1.3    Tujuan Makalah

Sejalan dengan tujuan makalah diatas makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.    Pengertian Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها
2.    Tujuan dan Fungsi Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها
3.    Dalil dan Cabang-cabang Kaidah Induk : الأمور بمقـاصدها

BAB II PEMBAHASAN


2.1    Pengertian الأمور بمقـاصدها

Al-Umuru Bi Maqasidiha (الأمور بمقـاصدها) artinya semua urusan tergantung tujuan/niatnya. Niat dikalangan Ulama-ulama syafi’iah diartikan dengan melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Sedangkan di kalangan Mazhab Hanbali menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini atau beritikad di dalam hatinya, itupun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas atau pun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah karena Allah, tetapi semata-mata karena biasa saja.
Secara etimologi, niat dalam Lisan al-’Arab dan Mu’jam al-Wasith, adalah bentuk masdar dari kata kerja ”nawa-yanwi”. Dalam Kamus Al Munawwir, berarti maksud hati; hajat; berniat sungguh-sungguh; menjaga; melindungi; berpindah tempat; pergi jauh; menyampaikan; melemparkan.[1] Sedangkan dalam Ensiklopedi Al Qur’an diuraikan kata ”an-nawa” pada surat Al-an’am ayat 95 :
  ذَٰلِكُمُ  ۚ  الْحَيِّ مِنَ الْمَيِّتِ  وَمُخْرِجُ  الْمَيِّتِ  مِنَ  الْحَيَّ  يُخْرِجُ  ۖ  وَالنَّوَىٰ الْحَبِّ  فَالِقُ  اللَّهَ  إِنَّ
تُؤْفَكُونَ  فَأَنَّىٰ  ۖ اللَّهَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (Al-An’am:95).
Dalam istilah sehari-hari al-nawa banyak digunakan untuk pengertian maksud atau tujuan, sebagaimana pengertian yang pertama. Qaidah yang pertama membawa maksud setiap urusan dinilai berdasarkan tujuan/niatnya. Secara eksplisit, qaidah tersebut menjelaskan bahawa setiap pekerjaan yang ingin dilakukan oleh seseorang perlu disertai dengan tujuan/niat. Oleh karena itu, maka setiap perbuatan mukallaf amat bergantung kepada apa yang diniatkannya, bahkan para ulama fiqh sepakat bahwa sesuatu perbuatan yang telah diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sesuatu kesukaran (masyaqqah) ia tetap diberikan pahala/ganjaran. Dari aspek yang lain, orang yang mempunyai niat untuk melakukan dosa besar seperti membunuh, namun tidak sempat melakukannya maka niatnya itu tetap dikira berbuat.
Seperti Hadis Rasulullah SAW. menyatakan:
“Apabila dua Muslim berkelahi dengan saling menghunus pedang, yang terbunuh dan yang membunuh, kedua-duanya dimasukkan ke dalam neraka. Aku bertanya; Wahai Rasulullah! ini adalah balasan bagi orang yang membunuh (masuk neraka adalah patut), tetapi bagaimana dengan keadaan orang yang dibunuh? Rasulullah menjawab; kerana ia juga berniat untuk membunuh lawannya”
Pengertian niat secara etimologi adalah sengaja (القصد) Sedangkan secara terminologi, Abi Bakar Ibn Sayyid Muhammad Syaththa al-Dimyaty mengatakan niat yaitu mengqasad sesuatu diserta dengan perbuatannya. Didalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan disertai dengan takbirat al ihram, karena takbirat al ihram adalah perbuatan dalam shalat. Abd al-Rahman al-Jaziry memberikan rumusan pengertian niat dengan cita-cita hati untuk memperbuat ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Fayq Sulaiman Dalul mengatakan niat yaitu mengqashad sesuatu disertai dengan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah, dan tempatnya dalam hati pada seluruh ibadah dan Ibn Qayyim mengatakan niat itu adalah maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan secara ashl tidak berkaitan dengan lisan.
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang diimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara yang dilarang dalam syariat islam. Contoh: memakan bangkai tanpa adanya rukhsah (dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini, terdapat nash syara’ dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggarnya memperoleh hukuman dunia dan akhirat.

2.2    Tujuan dan Fungsi  الأمور بمقـاصدها

2.2.1   Tujuan الأمور بمقـاصدها

Tujuan disyariatkannya niat adalah untuk membedakan perbuatan ibadah dengan adat.[2] Seperti yang dijelaskan QS. Al-Bayyinah [98:5]:
.... حُنَفَآءَ  ٱلدِّينَ  لَهُ  مُخْلِصِينَ  ٱللَّهَ  لِيَعْبُدُوا۟  إِلَّا  أُمِرُوٓا۟  وَمَآ
Artinya: “Dan tidaklah Kami perintahkan kamu kecuali untuk menyembah kepada Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama yang lurus..” (Al-Bayyinah : 5)
Dalam hadis Nabi Saw. dijelaskan:
Al-Qamah ibn Waqash al-Laits berkata, saya mendengar Umar ibn Khatab r.a. yang berada di atas mimbar berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. berkata: “Hanya saja sahnya suatu perbuatan dimulai dengan niat, dan setiap perbuatan itu akan dibalas sesuai dengan apa yang diniatkan, barangsiapa yang berhijrah karena dunia atau perempuan yang akan dinikahinya maka hijrah itu sesuai dengan hijrah diniatkannya.”
Niat itu diperlukan karena :
1.      Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
2.    Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas.
Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.
Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah
Niat yang ikhlas yaitu keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan nafsu dan keduniaan. Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah An-Nisa ayat 125 :
 ٱللَّهَ  وَاتَّخَذَ حَنِيفاً إِبْرَاهِيمَ مِلَّةَ واتَّبَعَ مُحْسِنٌ وَهُوَ ٱللَّهَ  وَجْهَهُ أَسْلَمَ مِّمَّنْ دِيناً أَحْسَنُ وَمَنْ
خَلِيلا بْرَاهِيمَ
Artinya : Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah semata, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. (An-Nisa:125)
Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Adapun ibadah itu mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi dari petunjuk Rasulullah SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
د رَ فَهُوَ أَمْرُنَا عَلَيْهِ لَيْسَ عَمِلَ مَنْ
Artinya : Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
Sedangkan niat itu tetap berlanjut sampai akhirnya pelaksanaan ibadah, artinya bahwa niat itu tidak berubah dalam pelaksanaan ibadah. jika berubah dalam pelaksanaan ibadah maka ibadahnya menjadi batal.
Kaidah umum hukun Islam ini menjadikan hukum  Islam selalu konstektual, ‘induktif-empiris’ serta ‘historis-sosiologis’ dalam menyesuaikan dan menjawab permasalahan hukum yang kontekstual.[3]

2.2.2        Fungsi الأمور بمقـاصدها

Fungsi niat adalah :
1.      Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.      Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.      Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[4]
Para ahli hukum Islam merinci masalah niat ini baik dalam bidang mahdlah, seperti thaharoh (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum, ataupun di dalam muamalah dalam arti luas atau ibadah  ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa, menyewa, perwakilan, utang piutang dan akad-akad lainnya.
Diantara kekecualian kaidah antara lain:
1.        Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, raja’, ikamah, azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali apabila membacanya dalam rangka nazar.
2.      Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan laun yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul, diperlukannya niat apabila mengharapkan dapat pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
3.      Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.

2.3.  Dalil dan Cabang-cabang  الأمور بمقـاصدها

2.3.1   Dalil  الأمور بمقـاصدها

1.      Al-Quran
a.       Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 :
 وَذَلِكَ الزَّكَاةَ وَيُؤْتُوا الصَّلَاةَ وَيُقِيمُوا حُنَفَاء الدِّينَ لَهُ مُخْلِصِينَ ٱللَّهَ  لِيَعْبُدُوا إِلَّا أُمِرُوا وَمَا
الْقَيِّمَةِ دِينُ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
b.      Qur’an surah al-Baqarah ayat 225:
حَلِيمٌ  غَفُورٌ وَاللَّهُ ۗ قُلُوبُكُمْ كَسَبَتْ بِمَا يُؤَاخِذُكُمْ وَلَٰكِنْ أَيْمَانِكُمْ فِي بِاللَّغْوِ اللَّهُ يُؤَاخِذُكُمُ لا
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
c.       Qur’an surah al-Baqarah ayat 265:
 أَصَابَهَا بِرَبْوَةٍ جَنَّةٍ كَمَثَلِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ وَتَثْبِيتًا اللَّهِ مَرْضَاتِ ابْتِغَاءَ أَمْوَالَهُمُ يُنْفِقُونَ الَّذِينَ وَمَثَلُ
بَصِيرٌ تَعْمَلُونَ بِمَا  وَاللَّهُ ۗ فَطَلٌّ وَابِلٌ يُصِبْهَا لَمْ فَإِنْ ضِعْفَيْنِ أُكُلَهَا فَآتَتْ وَابِلٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
d.      Qur’an surah al-Nisa ayat 100:
بَيْتِهِ مِنْ يَخْرُجْ وَمَنْ ۚ وَسَعَةً كَثِيرًا مُرَاغَمًا الْأَرْضِ فِي يَجِدْ اللَّهِ سَبِيلِ فِي يُهَاجِرْ وَمَنْ
رَحِيمًا غَفُورًا اللَّهُ وَكَانَ ۗ اللَّهِ عَلَى أَجْرُهُ وَقَعَ فَقَدْ الْمَوْتُ يُدْرِكْهُ ثُمَّ وَرَسُولِهِ اللَّهِ إِلَى مُهَاجِرًا
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
e.       Qur’an surah al-Ahzab ayat 5 :
 ۚ وَمَوَالِيكُمْ الدِّينِ فِي فَإِخْوَانُكُمْ آبَاءَهُمْ تَعْلَمُوا لَمْ فَإِنْ ۚ اللَّهِ عِنْدَ أَقْسَطُ هُوَ لِآبَائِهِمْ ادْعُوهُمْ
رَحِيمًا غَفُورًا اللَّهُ وَكَانَ ۚ قُلُوبُكُمْ تَعَمَّدَتْ مَا وَلَٰكِنْ بِهِ أَخْطَأْتُمْ فِيمَا جُنَاحٌ عَلَيْكُمْ وَلَيْسَ
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.      Hadis
a.       Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:
فَهِجْرَتُهُ وَرَسُولِهِ اللَّهِ إِلَى هِجْرَتُهُ كَانَتْ فمَنْ ، نَوَى مَا لاِمْرِئٍ وَإِنَّمَا ، بِالنِّيَّاتِ الأَعْمَالُ إِنَّمَا
 هَاجَرَ مَا إِلَى تُهُ فَهِجْرَ يَتَزَوَّجُهَا امْرَأَةٍ أَوِ يُصِيبُهَا لِدُنْيَا هِجْرَتُهُ كَانَتْ وَمَنْ , وَرَسُولِهِ اللَّهِ إِلَى
إِلَيْه
Bahwasanya setiap perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah karena ingin memperoleh harta dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut karena hal tersebut.
b.      Hadis Riwayat Bukhari dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah bersabda:
 Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dengan ikhlas, maka nafkah yang diberikannya itu sebagai sedekah baginya.
c.       Hadis riwayat Baihaqi dari Salman al-Farisi:
عَمَلِهِ مِنْ خَيْرٌ الْمُؤْمِنِ نِيَّةُ
Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya.
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah.

2.3.2. Cabang-cabang  الأمور بمقـاصدها

1.       باِلنِّيَّاةِ إلاَّ ثوابَ لاَ (Tidak ada pahala kecuali dengan niat)
Maksudnya, selama perbuatan itu tidak dianggap buruk, jika tidak dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala. Oleh karena itu, niat dalam perbuatan wudhu, ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah menganggap niat itu fardhu, Ulama Hanabilah menganggapnya sebagai syarat sah wudhu. Ulama Hanafiyyah menetapkan sebagai sunnat muakkad.
2.       Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan,baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan. Oleh karena itu, Seseorang bershalat zhuhur dengan menyatakan niatnya bershalat di mesjid al-Karamah Martapura, padahal ia bershalat di mesjid Syiarus Shalihin, shalat orang tersebut tidak batal. Karena niat shalatnya telah terpenuhi dan benar sedangkan yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci.
3.       Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, dalam shalat zhuhur berniat dengan shalat ashar, atau dalam shalat idul fithri berniat dengan idul adhha, dalam puasa arafah berniat dengan puasa asyura. Maka perbuatan itu menjadi batal.
4.       Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata tersalah maka kesalahannya membahayakan. Misal, seseorang bershalat jamaah dengan niat makmum kepada Umar. Ternyata yang menjadi imam bukan Umar, tetapi Utsman. Maka shalat jamaah orang itu dinyatakan tidak sah. Karena keimamannya telah digugurkan oleh Utsman.
5.      Maksud dari suatu lafazh (ucapan) adalah menurut niat orang yang mengucapkannya. Misalnya, jika seseorang di tengah-tengah shalat mengeluarkan ucapan-ucapan yang berupa ayat al-Qur'an, dan tidak ada maksud lain kecuali membaca al-Qur'an , maka yang demikian itu dibolehkan. Tetapi apabila niatnya untuk memberitahukan kepada seseorang seperti ucapan untuk memberikan izin masuk kepada orang yang sedang mengunjunginya, maka shalatnya batal.
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah :
Contoh penerapannya:
1)   Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
2)   Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
3)   Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan karena darurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.


BAB III PENUTUP

3.1    Simpulan

            Al-Umuru Bi Maqasidiha (الأمور بمقـاصدها) artinya semua urusan tergantung tujuan/niatnya. Jadi apabila meyakini atau beritikad di dalam hatinya, itupun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Tujuan dari niat yaitu untuk membedakan perbuatan ibadah dengan adat seperti dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Dan tidaklah Kami perintahkan kamu kecuali untuk menyembah kepada Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama yang lurus..”.

3.2    Saran

Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA


 

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: Ummat (LPKU).
Djazuli. (2006). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Prenadamedia Group.
Khisni. (2014). Perkembangan Pemikiran Hukum Islam. Semaranng: UNISSULA PRESS.
Rozalinda. (2016). Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT EajaGrafindo Persada.







[1] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Ummat (LPKU), Banjarmasin, 2015, hlm. 55.
[2] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 397.
[3] Khisni, Perkembangan Pemikiran Hukum Islam, UNISSULA PRESS, Semarang, 2014, hlm. 54.
[4] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Prenadamedia Group, Jakarta, 2006, hlm. 35.

Komentar